HUMOR
& BIAS GENDER ALA PESANTREN
Jurnal :
Islam dan seksualitas: bias gender Dalam humor pesantren
Vol/ Hlm :
el Harakah Vol.19 No.1 Tahun 2017 34
Tahun : 2017
Penulis :
Sumadi
Reviewer : Ani Nuraeni
(Mahasiswa AS/V)
Tanggal : 5 Januari 2018
Abstrak
Humor kini menjadi bagian penting dalam kelembagaan budaya pondok
pesantren. Akan tetapi humor-humor di pesantren sering mengabaikan nilai-nilai
yang menghargai kesetaraan gender. Pemahaman Islam pesantren yang patriarki
menjadi akar pembentukan tema-tema humor yang mengeksploitasi tubuh dan
seksualitas perempuan. Kajian humor dan seksualitas di lingkungan pesantren di
Indonesia termasuk yang luput dari perhatian. Kajian ini menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif dengan analisis feminis di pesantren Priangan
Jawa Barat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa patriarkisme Islam pesantren
terlembagakan dalam tema-tema humor yang dibuat kiai, dam guru
Pendahuluan
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang berciri khas Islam. Sejak didirikan di
Indonesia pesantren memiliki kajian khusus yang tidak dimiliki insitusi
pendidikan lain yaitu pendalaman tentang agama Islam. Walaupun perkembangan
saat ini mayoritas pesantren telah mengakomodasi berbagai pendidikan formal,
pendalaman agama Islam (taffaquh fiddin) tetap menjadi inti pendidikan
pesantren. Islam menjadi asas berbagai kajian ilmu pengetahuan yang
dikembangkan pesantren.
Dalam
pengenalan budaya pesantren dan Islam salah satu bentuk interaksi yang
digunakan adalah humor-humor pesantren. Humor dipandang sebagai bentuk budaya
untuk menghibur sekaligus sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan Islam.
Seorang kiai, guru, atau santri menyampaikan humor-humornya di dalam
pembelajaran Islam, dalam ceramah-ceramah keagamaan, nasihat pernikahan, dan di
panggung-panggung hiburan pada acara-acara besar pesantren.
Dalam
proses interaksi sosial di pesantren gender dikonstruksi dan dilembagakan
secara budaya dalam bentuk humor-humor. Akan tetapi seringkali humor dalam
proses enkulturasi budaya pesantren cenderung tidak mempertimbangkan aspek
penghargaan pada kesetaraan gender. Pertimbangan utama humor lebih pada aspek
lucu dan menghibur sehingga pesan Islam yang disampaikan sampai pada tujuan
yang diharapkan. Padahal isinya terdapat banyak humor yang bias gender mengukuhkan
stereotip dan objektifikasi
Islam
dan Seksualitas: Bias Gender dalam Humor Pesantren
pada
humor-humor yang digunakan pesantren dalam proses pembelajaran, ceramah, dan
nasihat pernikahan. Wawancara mendalam dilakukan dengan para ustadz dan pengurus
pesantren. Dokumentasi diperoleh melalui buku-buku humor yang diterbitkan
pesantren, foto kegiatan, dan rekaman kegiatan pesantren. Semua data dianalisis
dengan analisis isi feminis. Pembahasan tentang humor di pesantren dengan
pendekatan feminis dan analisis gender di Indonesia masih luput dari perhatian
dan sulit ditemukan sehingga kajian ini penting untuk dilakukan.
Islam Bias Gender di Pesantren
Islam
yang bias gender di pesantren ditandai dengan dominasi pemahaman Islam
patriarki. Cara pandang Islam pesantren sampai saat ini masih mempertahankan
pemikiran Islam yang konservatif. Implikasinya dominasi budaya patriarki masih
mengakar kuat di lingkungan pesantren. Relasi laki-laki dan perempuan yang
terdapat dalam kitab-kitab di pesantren dianggap sebagai ketentuan baku yang
tidak perlu mendapat kritik dan penyesuaian zaman. Secara historis pesantren
memang mengembangkan budaya patriarki, sebab pesantren pada awalnya hanya
diperuntukan untuk laki-laki (Hasyim, 2010: 317). Pada awalnya pesantren di Indonesia
hanya untuk laki-laki. Cara pandang yang diskriminatif menempatkan laki-laki
yang layak menuntut berbagai ilmu agama yang terkait dengan ranah publik dan
individual. Sementara perempuan dipandang cukup memperoleh ilmu yang terkait
dengan kesalehan individual sebagai seorang perempuan.
Implikasinya
perempuan secara hirarkis dalam budaya pesantren tidak mendapat tempat yang
setara. Urusan-urusan publik menjadi hak laki-laki. Oleh karena itu
kepemimpinan pesantren secara turun menurun menjadi haknya anak laki-laki.
Seorang anak perempuan yang memiliki kemampuan kepemimpinan dan manajerial yang
kuat tidak akan memperoleh hak kuasa menjadi pemimpin pesantren. Perempuan
menjadi kelompok yang tersubordinasi dengan ditempatkan pada ruang-ruang
domestik. Ajaran Islam yang dikembangkan di pesantren dianggap telah final
dalam menempatkan laki-laki perempuan. Dalam kerangka ini, Islam pesantren
adalah Islam yang dikembangkan dalam budaya yang memberi keistimewaan pada
laki-laki. Perempuan secara agama dikonstruksi pada ruang-ruang yang sempit.
Perempuan sebagai pengabdi pada laki-laki. Ketaatan total perempuan pada
laki-laki menjadi budaya tidak tergoyahkan sampai saat ini. atau menyampaikan
humor sesungguhnya ia sedang mengontrol orang yang mendengarkan, sebaliknya
orang yang mendengarkan humor sesungguhnya ia sedang dikontrol orang yang
menyampaikan humor. Oleh karena itu humor-humor di pesantren secara budaya
dapat menjadi alat yang mengontrol para perempuan agar di posisi yang
terpinggirkan dengan memiliki identitas gender yang dikategorikan berbeda
secara sosial dengan laki-laki.
Bias Gender dalam Humor Pesantren
Humor
di pesantren yang mengandung bias gender pada perempuan terlembaga dalam budaya
pesantren yang disosialisasikan melalui interaksi sosial sehari-hari oleh para
santri, guru, dan kiai, dalam ceramah umum oleh para kiai di pesantren, maupun
dalam pembelajaran, dan nasehat dalam acara pernikahan. Pada awalnya tema-tema
humor di pesantren dalam bentuk tradisi lisan santri, pengurus dan kiai.
Mayoritas pesantren di Priangan yang termasuk dalam penelitian ini tidak
membukukan naskah humor, seperti Pesantren Darussalam, Arrisalah, Cijantung,
Miftahussalam, Cikanyere, al-Hasan, al- Hamidiyah Langkaplancar, Pesantren
Miftahul Ulum Maarif Ciamis, dan lain-lain. Humor disampaikan secara lisan
sebagai bentuk komunikasi yang mengedepankan aspek lucu oleh santri, guru, dan
kiai dalam kajian Islam di pesantren.
Namun
ada satu pesantren, yaitu Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya, yang
secara khusus mempublikasikan tema-tema humor dalam bentuk buku yang dicetak
resmi. Buku
kerupuk
sebagai simbol iman yang lemah. Kerupuk makanan yang mudah hancur bila terkena
air menjadi gambaran kekuatan iman yang lemah akan mudah goyah dengan sedikit
godaan. Jenis godaan yang meruntuhkan iman adalah perempuan, khususnya
perempuan yang memiliki tubuh molek.
Stereotip
pada humor ini menempatkan secara seksual tubuh perempuan sebagai sumber yang
dapat meruntuhkan iman seorang laki-laki. Iman yang berdasar pada hubungan
antara seorang manusia dengan Tuhannya akan dapat dihancurkan oleh pesona keindahan
tubuh perempuan. Keindahan tubuh perempuan yang merupakan puncak ciptaan Tuhan
atas makhluknya dipandang sebagai sumber malapetaka. Perempuan diposisikan
sebagai makhluk yang serba salah. Keindahan tubuhnya dianggap sumber kenikmatan
tetapi pada sisi yang berbeda ditempatkan sebagai sumber godaan.
Stereotip
pada humor pesantren dengan menempatkan perempuan sebagai bencana sosial yaitu
sosok penggoda laki-laki. Dalam khazanah pesantren secara teologis perempuan
dianggap sejajar dengan makhluk yang merusak kehidupan laki-laki. Tiga faktor
yang menjadi sumber malapetaka laki-laki, yaitu harta, tahta, dan wanita (Azis,
2008: 18). Dalam konteks ini stereotip tubuh perempuan dianggap fitnah. Fitnah
adalah potensi-potensi yang dapat berakibat buruk baik bagi diri perempuan atau
laki-laki. Dalam kerangka Strowaser (2001: 127) “fitnah” yang dilekatkan pada
perempuan menjadi semacam konsep anarki sosial atau kekacauan sosial yang
ditimbulkan oleh tubuh perempuan. Implikasinya konsep fitnah terhadap tubuh perempuan
bahwa jenis kelamin perempuan dan tubuhnya mengakibatkan ketidakstabilan
sosial.
Objektifikasi Seksualitas Perempuan
Humor
di pesantren mengandung stereotip terhadap perempuan dengan identitas sebagai
objek seksual laki-laki. Harta yang paling berharga bagi perempuan dihubungkan
dengan kejantanan. Dalam humor di nasehat pernikahan misalnya muncul humor:
yang dibutuhkan perempuan itu ATM (Alat Tusuk Manual=zakar), jengkol peda-na
kanggo panganten istri, nyaeta anu ngarengkol dina calana kanggo panganten
istri, Mobil Fiat Mobil VW, Teu Kuat Hayang Ngewe [Tidak sabar ingin
segera hubungan intim]. ATM, nu ngarengkol dina calana, mobil Fiat-mobil VW adalah
nama lain dari alat kelamin laki-laki yang dipandang sebagai kebutuhan pokok
perempuan pasca pernikahan.
Seksualitas
tubuh perempuan menjadi objek humor pesantren. Bagian tubuh perempuan yang
sensitif menjadi sasaran humor di lingkungan pesantren.
Misalnya
humor tentang androk atau dari bawahan pakaian perempuan. Androk menjadi
tema yang dianggap lucu bagi para santri dan anggota pesantren lainnya. Dengan
bahasa yang dicampur antara bahasa Sunda dan Indonesia perempuan dikonstruksi
dengan tema androk yang digambarkan dalam humor berikut ini:
Wahai
androk, dulu bentukmu mengembang seperti batok, yang dipotong memakai golok,
kau sangat panjang bagaikan balok, dan tebal seperti tembok, sehingga tidak
mudah ditengok, oleh mata-mata jorok, tapi kau semakin pondok (pendek),
pahanya yang montok, tidak sedikit laki-laki yang mencoba merampok, kemaluanmu
yakni tempat keluar orok, wahai pengguna anrok, apakah imanmu
sudah menjadi rontok, sehingga kemaluanmu tidak lagi kao patok (Bastcom, 2010:
2).
Dalam
tema humor Ema jeung Bapa [Ibu dan Bapak] tentang besarnya pengorbanan
orang tua terhadap anaknya. Kedua orang tua berjuang siang malam bahkan sampai
kurang tidur hanya untuk anaknya. Konteks ketika menceritakan pengorbanan ibu
yang melayani sang suami dimunculkan sebagai tema humor ini. Secara lengkap
humor yang ditampilkan adalah sebagai berikut:
…Teu
aya nu pang ageungna jasa, iwal ti bapa jeung ema, bapa ngabelaan benta ti
beres Isya, nepi ka jam dua, pas tatangga taribra, meakeun sakabeh tanaga,
nepika ngocor kesangna, kajeun tiris baju calana dibuka, Ema oge ukur capena,
dina waktu nu lumayan lila, dintindihan beurat kacida ku bapa, diperes otak,
tanaga, oge dada, nepika ditojos ku benda anu sagede cau nangka, malah nepi ka
olabna… (Bastcom Barudak Santri Comedi, 2010: 3-4).
[tidak
ada jasa yang paling besar, kecuali jasa bapak dan ibu, bapak begadang sampai
waktu Isya, sampai jam dua di saat tetangga sedang nyenyak tidur,
menghabiskan seluruh tenaga, sampai mandi keringat, walaupun cuaca dingin baju
dan celana dibuka, ibu hanya mendapat kesengsaraan dengan lelah tingkat tinggi,
ditimpa badan bapak yang berat, diperas otak, tenaga, dan tubuhnya, sampai
ditusuk dengan benda sebesar pisang nangka, sampai kuwalahan....].
Tema
yang menunjukkan perempuan sebagai objek seksual digambarkan dalam humor tema Istri
Ditiung [perempuan berkerudung]. Dengan tema istri ditiung,
perempuan digambarkan:
Mun
ningal istri ditiung, hawa betah ingkah ge embung, sok sanajan nempona
nangtung, karaosna teh asa ngapung, komo mun akhlaqna teh agung, irungna
mancung, awakna jangkung, bodina melengkung, kulit bodas batan tipung, sigana
mun boga kabingung bakal leungit langsung, mun daek dikawin kuring moal
kaduhung (Bastcom Barudak Santri Comedi, 2010: 4-5). [Jika melihat
perempuan berkerudung, suasananya menjadikan betah dan membuat orang malas
pergi, serasa melayang, apalagi jika akhlaknya agung, hidungnya mancung,
tubuhnya tinggi semampai, kulitnya putih melebihi tepung, orang yang melihatnya
jika memiliki masalah akan hilang. Jika mau dikawin denganku pasti tidak akan
menyesal].
Sosok
perempuan yang menjadi dambaan yang digambarkan adalah sosok perempuan yang
memiliki kriteria fisik tinggi semampai, hidung mancung, kulit putih. Jika
persyaratan-persyaratan fisik seperti itu terpenuhi, maka inilah perempuan yang
paling ideal untuk dinikahi laki-laki. Kriteria perempuan dengan persyaratan
tertentu yang berhak dipilih laki-laki muncul pada tema humor berikut.
…Jablay
pinggulmu memang bohai, tubuhmu indah semampai, sekali ngagupai orang-orang
terbuai, bahkan nepi ka ngelai atawa ngacay, tapi sayang kau hanya seorang
jablay, martabatmu jauh seperti lalay, bahkan lebih bejat dari tupai,
kehormatanmu kau jual seperti siomay, yang dijual bari smapay, bari ngagorowok
bari palay-palay…bertobatlah wahay jablay sebelum ajalmu sampai (Bastcom
Barudak Santri Comedi, 2010: 6-7).
Kata
jablay secara sosial memiliki makna yang negatif bagi perempuan. Humor ini
sarat dengan eksploitasi seksual dan mengandung unsur kekerasan terhadap
perempuan. Jablay merupakan singkatan jarang dibelai yang ditujukan kepada
perempuan. Pada perkembangan selanjutnya kata jablay dilekatkan pada perempuan
tuna susila atau perempuan nakal yang dianggap kesepian dan terus mencari
mangsa laki-laki.
Istilah
jablay memiliki makna yang secara budaya bersifat ekploitatif terhadap
perempuan yang mengandung nilai-nilai ketimpangan gender. Dengan konsep jablay
menunjukkan perempuan kebutuhannya adalah seksual, sehingga jika kebutuhan
seksualnya tidak terpenuhi dia akan menjadi perempuan nakal yang kehausan
seksual dan tidak bermoral. Dalam tema jablay itu memberi pesan bahwa kelompok
orang yang senang menjual diri dan mengekploitasi seksualitas tubuh konteksnya
terletak pada kaum perempuan. Gelar jablay hanya dilekatkan pada perempuan.
Para
perempuan yang berprofesi artis dikonstruksi secara stereotip sebagai perempuan
yang nakal. Identitas yang dilekatkan pada artis adalah perempuan yang menjual
tubuhnya yang seksi.
Selebritis,
ngaran-ngaran selebritis moal lepas ti awewe geulis, lalaki nu altletis, pakaian
nu arawis, dangdanana siga turis, pokokna mah seksi habis, ningali susu jeung
pingping teh gratis, da tiap poe katingali dina TV gratis, da tiap poe
katingali dina TV meni laris, dina film mistis, film humoris, teu kaliwat dina
kuis, meni kuat sing kacewis, nu ngamera meni ngabaris, reporter ge
ngudag-ngudag dugika geubis, selebritis selebritis (Bastcom
Barudak Santri Comedi, 2010: 16-17). [Selebritis, namanya selebritis tidak akan
lepas dengan perempuan yang cantik, laki-laki yang atletis, memakai pakaian
yang mahal, tampilannya seperti turis, melihat buah dada dan paha gratis,
karena di TV setiap hari disaksikan secara gratis, sangat laris, di film
mistis, film humoris, tidak terlewat di dalam kuis, reporter yang lari-lari
sampai jatuh, selebritis…selebritis..
Objektifikasi
seksualitas perempuan muncul pada humor tema ini, perempuan ditempatkan menjadi
sosok yang memiliki pekerjaan dengan sumber penghasilan dari mengeksploitasi
tubuhnya. Artis atau selebritis adalah area para perempuan yang menempati ruang
untuk menjual tubuhnya. Dengan mendasarkan ide humor berbagai kasus yang
menimpa para artis di Indonesia, gelar selebritis perempuan termasuk negatif.
Selebritis diberi label perempuan yang seksi dan nakal. Dalam tema humor ini
diuraikan identitas perempuan yang menjadi artis dengan objektivikasi seksual
yaitu seksi dengan pakaian yang terbuka. Perempuan diposisikan dengan
citra yang buruk pada dunia hiburan sehingga timbul anggapan bahwa perempuan
yang aktif dalam dunia hiburan adalah para perempuan nakal dan tidak bermoral.
Dalam
pandangan analisis gender bahasa yang digunakan dalam sebuah kelompok,
institusi, organisasi dan masyarakat seperti pesantren berkecenderungan
memiliki tradisi yang panjang dalam melanggengkan stereotip terhadap perempuan.
Ini menyebabkan sulitnya perubahan untuk berpihak atau seimbang terhadap
perempuan. Jeppersen (dalam Talbot, 2010: 177) menjelaskan sebagai fakta dalam
dunia bahasa bahwa perempuan berkontribusi terhadap bahasa untuk mengurus
kemurniannya menurut penyusutan naluriah mereka dari ekspresi vulgar dan kasar,
sedangkan kontribusi-kontribusi laki-laki merupakan tenaga, imajinasi dan
kreatifitas. Akhirnya bahasa yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan
membangun signifikansi laki-laki. Sebaliknya bahasa yang digunakan laki-laki
dan perempuan membentuk kebodohan atas perempuan. Dalam konteks kajian ini,
implikasinya bahasa-bahasa yang biasa digunakan laki-laki, jika digunakan
perempuan akan menjadi ‘cela’ atau sesuatu yang negatif. Sebaliknya
bahasa-bahasa yang pada hakikatnya mencela perempuan dianggap biasa dan natural
yang tidak merugikan perempuan.
Domestifikasi Perempuan
Domestifikasi
pada perempuan terjadi ketika para perempuan secara normatif dan takdir
dikategorikan lebih inferior dibandingkan laki-laki. Pandangan bahwa perempuan
lebih inferior tidak hanya menurut laki-laki tetapi juga menurut para
perempuan. Dari masalah inferior secara fisik sampai dengan inferior masalah
intelektual. Para perempuan pesantren yang secara intelektualnya melebihi
laki-laki, seperti beberapa ustadzah/guru perempuan yang memiliki kemampuan dan
penguasaan terhadap berbagai ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya, para
perempuan tetap merasa sebagai makhluk yang kapasitas akalnya di bawah
laki-laki. Anggapan yang sama terhadap perempuan oleh laki-laki dan perempuan
berpotensi semakin memperkuat para perempuan memperoleh pembedaan secara sosial
yang menjadikan posisinya tetap di wilayah domestik.
Domestifikasi
perempuan dalam humor pesantren dengan menempatkan perempuan pada tempat yang
tersubordinasi. Jika humor-humor temanya tentang pemimpin, orang berilmu, dan
orang kaya konteksnya adalah laki-laki. Tetapi jika humor temanya tentang
pengabdian, kesetiaan, dan pengorbanan pasangan konteksnya menunjukkan pada
perempuan.
Ilmu.
Elmu mangrupa hiji sarana, pikeun nangtungkeun bagjana jalma, loba contona,
jalma nu sangsara, gara-gara teu boga ilmu elmu dina boga jiwa raga, tapi mun
jalma geus pinuh ku pangabisa, luhur kanyahona, darajat luhur boga wibawa, teu
kudu ngumbara jauh-jauh ka Saudi Arabia, ngabelaan ngudag-ngudag harta, sabab
harta datang nyalira, oge teu kudu saembara, komo mun pasea, neangan wanoja
percaya teu percaya teu percaya wanoja eta, nu bakal kabita, ka goda, ka jalma
nu elmuna loba, naon sababna? (Bastcom Barudak Santri
Comedi, 2010: 19-20). [Ilmu merupakan sarana untuk menentukan bahagianya
seseorang. Banyak contohnya, orang yang sengsara sebab tidak memiliki ilmu.
Tetapi jika orang sudah pandai dengan memiliki berbagai ilmu, derajatnya
tinggi, memiliki wibawa luhur, tidak harus mengembara ke Saudi Arabia untuk
mendapatkan harta, sebab bagi orang berilmu harta akan datang dengan
sendirinya. Para perempuan akan tergoda dengan orang yang banyak ilmunya, apa
sebabnya?]
Domestifikasi
pada perempuan dalam humor ini adalah tentang tema ilmu konteksnya kepada
laki-laki. Teks humor ini menempatkan laki-laki menjadi sosok yang berdaya dengan
ilmu. Penguasaan ilmu dan berbagai pengalaman identik dengan laki-laki.
Perempuan menjadi sosok yang lemah tidak berdaya. Sebab salah satu kehebatan
laki-laki yang berilmu, ia akan menjadi rebutan dan pujaan perempuan.
Ketinggian intelektualitas dan ilmu yang dilekatkan pada laki-laki secara
budaya memberikan konstruksi budaya pada masayarakat bahwa orang yang berilmu
dan memiliki keahlian menjadi haknya kaum laki-laki. Laki-laki sebagai pewaris
atas ilmu yang dalam interaksi sosial memiliki kuasa atas perempuan. Sebaliknya
perempuan menjadi objek dari laki-laki yang beridentitas sebagai manusia yang
berilmu.
Di
masa-masa selanjutnya humor yang dilembagakan akan berdampak pada pembentukan
sebuah latar budaya. Artinya humor-humor yang bernuansa nilai-nilai yang bias
gender akan membangun komunikasi yang bias gender di lingkungan pesantren yang
membentuk ketimpangan gender. Secara keseluruhan bias gender terhadap perempuan
di dalam humor pesantren memilki dua pesan penting, yaitu pertama, semakin
meneguhkan laki-laki pada posisi yang superior dengan nilai-nilai yang makin
meninggikan posisi el Harakah Vol.19 No.1 Tahun 2017 38
laki-laki;
kedua, pemaknaan perempuan (woman mainstreaming) sebagai objek
seksualitas menjadi tema yang dominan. Humor dalam kajian komunikasi merupakan
bagian penting dalam sebuah pembentukan budaya. Humor dalam konteks interaksi
sosial merupakan cerminan dari sebuah budaya melalui sosialisasi nilai-nilai
yang panjang dalam sebuah komunitas atau masyarakat. Humor di lingkungan
pesantren tidak sekedar humor yang tidak memiliki konsekuensi budaya. Humor
adalah bentuk produksi dan reproduksi sebuah budaya dalam organisasi, institusi
pendidikan, dan masyarakat.
Dalam
tema humor pesantren tubuh dan seksualitas perempuan dianggap sebagai objek
sentral dalam mendefinisikan gender. Tubuh perempuan diidentifikasi sebagai
identitas dan sifat perempuan. Oleh karena itu tubuh menjadi pusat yang
membentuk secara budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Dalam proses panjang
tubuh perempuan dan konstruksi gender, Carson (2010: 147) memberi penjelasan
secara teoretis bahwa relasi laki-laki dan perempuan diformulasikan melalui
tubuh. Tubuh perempuan dijadikan dasar untuk membuat teori, tindakan-tindakan
yang secara khusus ditujukan pada perempuan. Perbedaan relasi gender secara
konvensional dilekatkan pada tubuh perempuan. Laki-laki dianggap sebagai
kelompok yang superior baik tubuh maupun pemikirannya. Akibatnya proses-proses
biologis seperti mensturasi, emosional, kehamilan dilekatkan secara
besar-besaran terhadap tubuh perempuan sehingga menjadi dasar mendefinisikan
perempuan. Ini berdampak pada pembedaan pembagian peran sosial yang timpang
antara laki-laki dan perempuan.
Kesimpulan
Dominasi
cara pandang Islam yang diskriminatif pada perempuan di pesantren menjadi
proses enkulturasi budaya yang membentuk perilaku, interaksi, dan tatanan
sosial pesantren yang patriarkis bias gender. Kitab-kitab kuning dianggap
sebagai sumber tata nilai yang mengatur laki-laki perempuan secara
diskriminatif ditempatkan sebagai teks suci yang tidak memberi ruang kritik.
Humor
sebagai media penyebaran nilai-nilai Islam dengan mengeksploitasi seksualitas
perempuan memberi penguatan pada stereotip, objektifikasi, dan subordinasi pada
perempuan. Humor menjadi alat pelembagaan secara natural atas marjinalisasi
perempuan. Seiring dengan kepentingan laki-laki Islam dan humor yang awalnya
menjadi alat eksploitasi seksualitas, akhirnya jalin.
0 Komentar untuk "HUMOR & BIAS GENDER ALA PESANTREN"